Pada komentar dokter psikiater di post saya waktu itu (3,5th lalu) menantang saya untuk keluar rumah mengelilingi komplek, padahal itu mengerikan bagi saya karena semenjak bertahun-tahun, saya hanya di rumah saja karena takut kumat di luaran sana. Apalagi terdengar banyak berita lagi banyak-banyaknya pelecehan gadis-gadis di angkot, kan saya makin khawatir takut dilecehkan oleh oknum yang tak bertanggung jawab ketika saya keluar rumah.
Saya berfikir, banyak penderita lain yang sampai belasan tahun menderita penyakit ini, tapi gak mati-mati, dan ketakutannya masih monoton itu-itu saja! Kumatnya pun itu-itu saja. Statusnya pun masih itu-itu saja, Jomblo! Ih... Masa saya bakal sama sampai seumur-umur, gak mati gak hidup, tapi nyangkol pada penderitaan yang ga jelas, klasik, jadul, koesplus pokoke! Akhirnya, dengan semangat membara, penuh gairah dan nasionalis, saya mencoba untuk yakin pada diri bahwa saya bisa kalau hanya melewati komplek.
Pagi itu saya mulai bersiap-siap untuk pertama kalinya akan mengelilingi komplek dengan meminta doa restu orang tua dan tetangga setelanya saya menghafalkan afirmasi kesembuhan dan dasadarma. Inginnya sih di rumah mengadakan doa bersama beserta jajaran ketua rt dan guru ngaji saya. Bila perlu mengundang bintang tamu kiyai yang di tv untuk memimpin doa beserta host-nya dari kalangan d'academy, tapi karena isi dompet mengenaskan, saya cukupkan doa orang tua saja.
Saya mulai berjalan pelan mbelakangi rumah. Sambil berlinang air mata melihat rumah yang mulai semakin jauh, rumah dimana tempat saya tidur, tempat dimana saya dilahirkan dan dibedong, kini saya tinggalkan bersama kenangan yang terindah. Beberapa meter kemudian saya masih bisa bertahan dengan keteguhan batin yang yakin.
Setengah putaran sudah saya lalui, namun kaki mulai bergetar berat, keringat mulai bercucuran, gairah mulai menurun, dengkul aseli lemes, tangan saya mulai gelisah memegang kepala, pikiran saya mulai kacau. Tidaaaaaaaaakkkk.... Ya, saya kumat, serangan panik hebat. Duaaaaarrr traktak dungdung jess.. icik icik icik. "Bagaimana ini? Saya harus bagaimana? Berikan jawabannya?" Kata saya ngakak. Akhirnya mau tidak mau, saya minta tolong ke nenek-nenek yang kebetulan di depan saya sedang selonjoran nunggu anak muda kece biar bisa malam mingguan bareng.
Saya memanggilnya bibi, "Bi, tolongin saya. Saya minta air anget. Saya penyakitnya kambuh." Dia terkaget dan terheran. Suasana hening sejenak, dalam batinnya berkata "Sudah kuduga!"
Nenek ini langsung panik. Ia kemudain memanggil tetangga lain untuk menolong saya. Saya pun dirujuk ke tetangga lain untuk meminta air anget tanpa membawa BPJS. Tetangga ini dengan sigap memberikan air anget tanpa minta DP. Saya menerimanya dengan terkekeh dan kumat beneran. Setelah saya minum, detakkan jantung mulai tenang, saya berterima kasih kepadanya dengan sedikit menceritakan penyakit ini. Sayapun berlalu menuju pulang.
Sesampai di rumah, saya bahagia karena berhasil melewati komplek. orang tuapun menyambutnya dengan hangat. Bagaikan sedang menunggu anaknya di bandara yang baru pulang dari Iraq. Saya bersyukur atas kemenangan ini walaupun sempat kumat yang menghebohkan nenek-nenek di ujung komplek sana.
Besok-besoknya saya berani melewati dua putaran dan terus bertambah tiap harinya. Saya bersyukur bisa melakukan ini semua. Alhamdulillah
---------
Sebagian cerita adalah fiktif tapi meminta pertolongan kepada nenek-nenek adalah fakta.
No comments:
Post a Comment