Wednesday, June 6, 2018

Cerita Seorang Gay Jatuh Cinta Lokasi Sesama (Jangan ditiru, Bisa Kena Azab)

azab homo

Salam semuanya,

Maaf sebelumnya, saya mau numpang curhat panjang. Saat ini saya berada di titik terendah saya. Umur saya 25 tahun. Mulanya saya berpikir saya punya depresi saja, lalu pergi ke psikiater dan
ternyata saya menderita Bipolar karena memang kadang bisa jadi workaholic dan kurang tidur, dan kadang mood bisa benar-benar down sampai malas bangun dari kasur. 1 tahun terakhir ini sungguh terasa sangat berat dan fase depresi saya lebih mendominasi. Saya mencintai orang yang salah.

Sebenarnya saya juga adalah seseorang yang memiliki orientasi seksual sejenis, tapi saya tidak pernah berani untuk berhubungan dengan sesama gay. Saya hanya cerita kalau saya gay pada psikiater saya saja.

Saat ini saya bekerja di bidang konservasi satwa liar, saya tinggal dalam 1 camp dengan orang lain, tetapi memperoleh kamar sendiri. Hal ini sudah saya lakukan selama 2 tahun.

Awalnya masih terasa biasa saja, hingga akhirnya saya jatuh cinta pada seorang staf lokal. Seorang pemuda desa umurnya beda 11 bulan dengan saya. Dia sudah beristri dan beranak. Dia tinggal 1 desa dengan campnya. Dari awal saya mencoba untuk menolak auranya, tetapi karena sering bekerja 1 tim dan dia sering cerita tentang backgroundnya dia hingga akhirnya saya tak kuat lagi membohongi diri saya kalau saya cinta dia.

Dia ini orangnya cuek, pemalu, pekerja keras, tapi kurang teroganisir. Membuat saya simpati dan ingin selalu meringankan beban hidupnya karena kami digaji tidaklah cukup banyak, bahkan dia sambil berkebun juga untuk menafkahi anak-istri.

Siang panas-panas berkebun, malam dingin-dingin kerja pengamatan perilaku satwa malam. Beberapa bulan berlalu, kami makin akrab (dia masih belum tau kalau saya suka dia), banyak canda tawa dilalui bersama, bahkan pernah beberapa kali dinas ke luar kota sekamar sama dia, bikin saya tambah jatuh ke dalam pesonanya (untung saya masih bisa menahan nafsu saya untuk tidak ngapa-ngapain dia).

Kadang saya ngasih perlakuan beda ke dia dibanding staf lain, bahkan saya suka nyelipin bonus ke dia dan pura-pura bilang “itu dari boss karena kamu udah kerja keras”.

Kadang staf lain iri pada dia, tapi saya selalu ada untuknya. Saya udah korbankan banyak bermacam-macam untuk dia, bahkan saya selalu meninggikan etos kerjanya di depan boss, hingga kami diperbolehkan dinas ke Jogja dan Bali berdua sama dia (Dia ga tau dibalik itu saya yang berperan).

Karena dia pemuda desa yang cuek dan ga pernah berpikiran bisa pergi sejauh itu, dia ga terlihat senang saya bawa ke sana. Alih-alih senang, dia teringat sama anaknya, manusia yang paling dicintainya lebih dari istrinya sendiri. Saya memang tidak mengharapkan dia bisa mencintai saya kembali, tetapi saya berharap agar dia tahu kalau saya itu orang selain keluarganya yang terbaik untuk dia dan ngasih perhatian ke saya lebih.

Hingga suatu hari, selepas saya pulang dari NTT 2 mingguan, dia tidak menanyai kabar saya. Ya memang dia cuek, tapi dalam hati saya berkata, sama best friend sendiri kok gitu. Tibalah saya jadi badmood.

Dia tanya kenapa, saya jawab “lu mah gitu, lu dateng kalau ada maunya, giliran temen lagi butuh, kemana lu?”. Dia hanya jawab “Oh maaf, bukan maksud gua kayak gitu. Mulai besok lagi ga bakal minta tolong lu lagi deh”. Alih-alih minta maaf langsung dan ga merubah sikapnya, selepas itu dia bener ga mau minta tolong lagi.

Hingga akhirnya saya baikan lagi dan saya juga yang mesti minta maaf karena ga kuat didiemin dia. Manipulatif memang. Waktu berlalu, saya mulai merasa sadar bahwa seberapa banyak pengorbanan yang saya berikan ke dia, dia tidak akan merubah sikapnya (karena memang dia egonya tinggi).

 Saya berusaha menjadi teman yang tidak akan merubah sikap seorang teman itu sendiri. Semakin saya sadar, semakin saya sakit hati dan makin depresi, tapi saya tetep bermotto “asal dia bahagia”, bahkan rela mengorbankan nyawa saya sendiri demi dia.

Tapi hal itu tetap membuat saya depresi. Saya juga sadar, walau saya keluar dari pekerjaan ini, saya takut hal sama terjadi lagi, saya tidak akan bisa menikahi seorang wanita. Saya takut. Saya selalu berpikiran untuk bunuh diri tapi saya kasihan sama ortu dan adik saya (karena saya yakin itu akan mengubah adik saya) hingga saya berdoa semoga saya segera mati saja.

Saya pun akhirnya memutuskan pergi ke psikiater. Saya kena bipolar. Dokter menyarankan untuk mengurangi intensitas kontak dengan dia. Saya lakukan itu tapi hanya bertahan 2 minggu, saya lelah sendiri tanpa dia.

Awal Maret 2018, saya menyalahkan dia atas suatu pekerjaan. Tapi dia menyangkal dan membuat saya lebih marah. Kekesalan saya merupakan akumulasi dari kekecewaan terhadap dia selama ini.

Saya juga iri ketika dia dekat dengan rekan kerja lain, padahal sayalah teman kerja yang selalu ada untuknya, rekannya ini juga suka iri sama prestasi dia. Bahkan sempat saya cerita saya depresi pun dia tidak terlalu peduli (ntah dia bingung menyikapinya atau memang dia ga peduli).

Kami sudah sekitar 2 bulan tidak bicara. Di situ saya merasa ada sedikit kebebasan karena saya tidak perlu mengkhawatirkan dia lagi, terutama kalau dia dapat shift jam 11 malam – 5 pagi yang dinginnya minta ampun.

Tapi saya juga cape sendiri lagi, hingga akhirnya saya minta maaf lagi minggu lalu. Selama kami bertengkar, saya membuat keputusan resign pada awal Juni. Minggu terakhir saya minta dijadwalkan kerja sama dia lagi.

Terealisasi lah hal itu, kami masih sempat ngobrol dan update kabar terbaru, sedikit tawa juga muncul, tapi tiap kami kerja bareng, rasanya sudah tidak sama lagi semenjak pertengkaran besar kami, padahal minggu lalu adalah minggu terakhir saya.

Harapan saya adalah dia menaruh perhatian paling besar ke saya. Hari ini adalah hari terakhir saya ada di tempat kerja. Kemarin sudah farewell party sambil bukber, tapi dia ga terlalu peduli, bahkan dia ga ngomong sedikit pun (Memang kita biasanya kalau di depan banyak rekan kerja lain, kita jarang ngobrol, entah dia malu sama saya mungkin).

Padahal saya berharap dia juga ngomong atau becandain saya. Saya sempat down dan bikin drama semalam, selepas bukber, rekan-rekan ngajak karaoke (saya fans berat karaoke) dan mereka udah booking. Karena udah ga ada mood dan rasanya pingin nangis (dan si dia juga ga ikut), saya nolak. Mereka pun bertanya-tanya. Saya pun pulang sambil nangis dan mereka tetap karaoke.

Hari ini saya mencoba mengumpulkan teman-teman lagi, karena besok saya akan pulang. Saya WA dia, tapi belum kunjung dibales. Saya takut dia ga akan muncul nanti malam atau besok pas saya pulang. Setelah semua yang dilalui, saya merasa sedih karena dia lah yang terpenting bagi saya saat saya pulang.

Dan kalau dia muncul pun, saya juga bingung, ntah mau bilang yang sesungguhnya kalau saya mencintai dia atau tidak.

Saya juga belum siap untuk pulang dengan kondisi begini, saya takut tidak bisa mengendalikan diri saya hingga ortu melihat anaknya begini. Tapi saya juga tidak mau tetap disini berlama-lama karena hanya ada luka yang tersisa.

Sepanjang saya hidup, belum pernah ada yang bikin hati saya sesakit ini kecuali dia. Dalam hati, jujur, saya hanya menginginkan dia dan ingin dia tau betapa saya mencintainya. Kalau memang hubungan kami sudah rusak begini, apakah sebaiknya saya ceritakan ke dia kalau saya cinta dia? Rasanya pingin lenyap.

PERINGATAN KERAS!!!
CERITA DI ATAS TIDAK BOLEH DITIRU!!!! BISA KENA AZAB! DAN ITU DOSA BESAR!!! KARENA MELAWAN KODRAT!!!

MANUSIA DICIPTAKAN BERPASANG-PASANGAN ADA LAKI-LAKI & PEREMPUAN.

No comments:

Post a Comment