Si Boy |
Yang kenal baik dengan saya pasti tahu saya ini takut sekali dengan anjing. Saya tumbuh di keluarga yang memilih ayam dan kambing untuk dipelihara, bukan kucing apalagi anjing. Di kecamatan saya dulu hanya ada satu keluarga yang memiliki anjing, dan itu membuat saya lari terbirit-birit setiap melewati rumahnya.
Lalu saya ke Sumba. Untuk riset ini, saya tinggal di kampung yang semua rumah memiliki anjing. Bukan hanya satu namun bisa puluhan atau belasan ekor. Anjing adalah bagian tak terpisahkan tiap keluarga. Namun, masyarakat di sana sangat mengerti situasi saya. Meskipun saya tidak pernah terang-terangan mengatakan saya takut anjing, Mama desa menyediakan ruangan khusus yang tidak dijamah anjing. "Biar ibu bisa shalat di tempat yang bersih, " duhai betapa baiknya...
Tapi menghindari anjing di desa ini amatlah mustahil. Tiap duduk di teras, ruang tengah, dapur, jalan ke halaman, ke mata air, dll anjing-anjing selalu berkerumun di sekitar saya. Bapak Desa, mama Desa, para umbu dan rambu, juga para pelayan sibuk mengusir anjing-anjing itu. Saya bisa menjerit ketakutan dan spontan naik kursi/meja (astaga!), jika tiba-tiba ada anjing nyelonong. Saya kesal pada diri sendiri. Rasanya manja dan seperti bukan saya. Saya seperti anak kota yang tertatih-tatih tinggal di desa, padahal saya ini aslinya orang desa. Itu semua gara-gara saya takut pada anjing .
Suatu kali saya sedang makan sambil mendengarkan bapak desa bercerita tentang asal-usul kampung. Seekor anjing besar bernama Boy terus mendekati dan menatap saya. Saya sudah was-was setengah mati. Telinga mendengarkan bapa desa tapi mata terus melirik si Boy. Bapak desa usir halus. Dia kembali lagi dalam beberapa detik. Mama Desa datang dengan mengibaskan sapu. Dia pergi namun kembali lagi. Ketika dia tetap tidak beranjak, Mama Desa agak emosi dan spontan memukulnya dengan kayu. Saya kaget dan menjerit, "Jangan!" (Meskipun takut anjing, saya tidak terima jika anjing dipukul apalagi ditendang). Saya bilang, “Tidak usah dipukul, asal tidak menyentuh atau menjilat, saya tidak apa-apa.” Lalu saya menjelaskan sedikit tentang “najis” yang lumayan merepotkan jika saya harus shalat. Apalagi di desa itu air sangat sulit.
Ketika si Boy mulai mendekat, orang-orang tetap melayangkan pukulan padanya (belakangan saya baru tahu ternyata di kampung, orang biasa memukul anjing, misalnya jika dia mengambil makanan). Boy tetap datang dan datang…
Malamnya saya sulit tidur. Saya teringat si Boy. Apa coba salah dia? Tidak menjilat, tidak menggigit. Dia hanya mendekati dan mencoba mengendus-endus. Selama ini dia dan teman-temannya hidup baik-baik, lalu muncul pendatang seperti saya dan tiba-tiba orang sekampung memusuhinya. Rasa penyesalan karena menyebabkan dia dipukul berkali-kali membuat saya sangat sedih: dan ketika tertidur saya bermimpi anjing itu mati.
Saya terbangun dengan keringat dingin. Masih gelap sekali karena di desa tidak ada listrik. Ketika saya menuju ember untuk berwudhu (saya sll siapkan air di ember tertutup sore sebelumnya di belakang rumah), saya nyaris menjerit karena Boy sudah di sana! Duh, antara lega dan takut menjadi satu. Agaknya dia mulai mengenali saya. Dia hanya menatap lekat. Matanya hanya mengikuti pergerakan saya, tapi tidak beranjak, apalagi mendekat.
Hari-hari berikutnya ada dorongan untuk mengenal lebih dekat. Meskpun tetap tidak menyentuh, tapi saya tidak terlalu takut. Saya tersenyum, melambaikan tangan, dan memberi makan setiap hari. Apapun makanan yang saya santap, selalu saya sisihkan untuk dia. Dan si Boy sepertinya tahu. Dia selalu menunggu.
Demikianlah. Akhirnya dia menjadi bagian dari keseharian saya. Dari bangun tidur hingga pergi tidur. Dia selalu muncul begitu saja. Ketika saya pergi dengan naik motor, saat kembali dan suara motor terdengar, si Boy sudah berlari menyongsong. Dia selalu menoleh setiap kali saya memanggil namanya. Setelah beberapa hari saya paham, dia adalah penjaga saya dari anjing-anjing yang lain. Jika ada anjing lain yang mendekat dia akan menggonggong keras-keras mengusir mereka semua.
Suatu kali saya pergi diam-diam. Saya mengunjungi kampung yang jauh sekali, melewati 5 bukit, 2 sungai dan 6 lembah (saya beneran hitung hehe). Luar biasa melelahkan. Di perjalanan saya dan Rambu Chici menertawai Boy. "Akhirnya Boy tidak ikut!" kata Rambu Chici. Memang waktu berangkat, kami sengaja memberi dia makan banyak-banyak dan saat dia asik dengan makanannya, diam-diam kami pergi.
Namun siapa menduga, waktu kami hampir sampai di lokasi (yang artinya kami sudah melewati 5 bukit, 2 sungai dan 6 lembah), si Boy sudah menunggu di sana. Dia duduk penuh gaya di tengah-tengah pematang menyambut kami yang ngos-ngosan. Saya dan Rambu Chichi tertawa terpingkal-pingkal sampai keluar air mata.... :)
Sampai sekarang saya tak habis pikir, bagaimana mungkin dia yang kami tinggalkan di rumah tahu kami pergi ke sini? Sampai lebih dulu pula! Padahal kampung itu jauhnya tak terbayangkan....
Saya termenung. Allah pasti menciptakan makhluk ini bukan untuk dibenci, apalagi dianiaya. Ia diberi kelebihan, dan orang-orang ignorant dan penakut seperti saya ini tidak mampu memahaminya. Tidak mungkin kan Tuhan menciptakan makhluk dengan sia-sia? Memang ada adab dan aturan khusus untuk berdekatan dengannya (misalnya bagaimana kita mensucikan najis dll), namun memahami cinta dan kesetiaan anjing pada manusia akan membuat kita lebih bersyukur.
Dalam perjalanan pulang, Rambu Chichi (yang tahu awalnya saya takut sekali pada Boy) diam-diam memotret tingkah Boy yang selalu mengikuti saya. I owe her...
Sumber : Ade Siti Barokah
No comments:
Post a Comment